Oleh Dr. KH. Muhamad Shofin Sugito

Sungguh senang ketika bertemu teman-teman lama, yha teman-teman semasa SMA dan Pesantren. Pertemuan kami dengan mereka melambungkan angan nostalgia beberapa tahun silam. Yang diantaranya, kenangan akan sosok Kyai yang khas dengan baju safari, bersarung dan berpeci, serta menaiki sepeda kuno zaman kolonial yg disebut ‘pit untho’. Uniknya, setiap kali mengajar beliau tidak pernah bawa kitab, padahal pelajaran yg beliau ajar tergolong sulit, yaitu; pelajaran “Qawaid Fiqhiyah”, rumus-rumus berlogika fiqih. Beliau adalah romo K.H Mohammad Muhibbi Hamzawiy.

“Pak Kiai Muhibbiy, itu kyai yang begitu santai dan selalu riang, ketika hendak memulai pelajaran beliau selalu bertanya; “Pertemuan lalu sampai mana?”, demikian kami bercerita tentang beliau. Setelah mendapatkan jawaban dari salahseorang muridnya, lantas beliau terdiam sejenak dan pandangannya mendongak agak ke atas, seperti sedang membathin sesuatu, dan barulah memulai baca basmalah, hamdalah dan shalawat untuk memulai pelajaran. Begitu kami mengenang beliau, dan teman-teman pun mengamininya.

Kemudian, kami pun melempar ‘rasan-rasan’ nakal; “Itu pak Kyai mengajar begitu, tidak pakai kitab, bagaimana dengan rujukan teori dan contoh-contohnya ya?”. Salahseorang teman menjawab, “Entahlah Mas, pokoknya aku tulis saja daah, ambil berkahnya”. “Iya Mas, saat itu aku pun begitu, yang penting catat aja apapun dari beliau, barokahe wae dak uwis, ghoo” Jawab kami bernostalgia.

Di antara obrolan tersebut, Seorang kawan yang sedang duduk santai berkata; “Niku Bapak kulo mas. Ini saya punya tulisan Bapak berkenaan dengan Al Qawaid al-Fiqhiyyah”. Sambil menyodorkan sebuah kitab, kawan tersebut memperkenalkan diri dengan nama Zainul Milal Bizawie. Ia melanjutkan, “Dulu, Bapak mengambil ilmu tersebut langsung “muwajjahatan” dengan Mbah Kyai Bafadhal Senori Tuban, dan jg dengan Mbah Kyai Zubair Dahlan, ayahandanya Mbah Yai Maimun Zubair”.

Kemudian, kami pun membaca kitab tersebut yang diberi judul “Hidayatut Thullab fi Ta’liq al-Mandzumah al Mausumah bi Kifayat At Thulllab li syaikhiy Abil Fadhal ibn Abdis Syakur As Sinury At Tubaniy”, dan dicovernya tertulis jama’ahu (dikumpulkan) dan wa allafahu (ditulis) oleh Muhamad Muhibbiy Hamzawi.

Dalam Muqadimahnya, Pak Kiai Muhibbi menjelaskan bahwa beliau hanya membantu menjelaskan ilmu Al Qawaid Al Fiqhiyah yg diberikan gurunya, Mbah Yai Bafadhal Senori, yg berwujud nadzam (syair) berbahar Rajaz. Syair ini oleh Mbah Yai Bafadhal disebutnya ringkasan dari Kitab Al-Asybah wa an-Nadzair karya Al Hafidz Jalaludin As Suyuti (w. 911 H). Jadi, ini dapat diartikan bahwa kitab ini merupakan pintu masuk, sekaligus penjelasan simpel, atas ilmu rumus-rumus logika fiqih yg bagi kebanyakan orang dianggap rumit dan njelimet.

Setelah kami baca, ternyata keganjalan fikir bertahun-tahun lalu terhadap Pak Kiai Muhibbi karena tidak pernah bawa kitab saat mengajar, terjawab sudah saat ini oleh kitab ini. Kami dapati, bahwa kitab ini menunjukkan bahwa ilmu Al Qawaid al Fiqhiyah begitu mendarah daging di diri pak kiai Muhibbi.

Tidak hanya memaparkan teori dan rumusan, beliau juga begitu ciamik berargumentasi dengan Al-Qur’an dan As Sunnah berikut perawi dan kitabnya. Bahkan, beliau juga menuliskan kesimpulan status kwalitas dari sebuah periwayatan yg dinukilnya, sebagaimana tradisi ahli hadis mujtahid.

Begitu juga, dalam kitab ini beliau juga banyak sekali menginformasikan hal-hal yg unik dan langka. Misalnya, kata ‘man’ من menurut bahasa Arabnya Bani Ar Rabi’ah itu maksudnya in’aam انعام yg berarti kenikmatan. Kata ‘aadaab’ آداب yg umumnya diartikan sebagai seni/sastra ataupun juga etika, tetapi oleh beliau kata ini dimaknai ilmu pengetahuan ( العلوم والمعارف ).

Uniknya, beliau juga mendiskusikan prihal baca shalawat dan salam terhadap malaikat, khususnya malaikat Harut dan Marut, yang oleh Pak Kiai Muhibbi dijelaskan bhwa saat ini keduanya masih menjalani hukuman digantung pada tiang di Babilonia hingga datangnya kiamat.

Kitab ini juga memuat pandangan banyak ulama papan atas yg populer, semisal, Al Bulqiniy, Izzudin Ibn Abdissalam, An Nawawi, Taqiyudin As Subki, Tajudin As Subki, As Suyuti, Ibnu Hajar al Haitsami, dan lain sebagainya. Variasi pandangan dan pola fikir mereka begitu memperkaya khasanah ilmu yang diemban kitab ini.

Walaupun demikian, Pak Kiai Muhibbiy juga menampilkan kekhasan dan keorisinilitas pemikirannya. Misalnya saja; tentang kaidah;

تصرف الإمام على الرعية منوط بالمصالح
Kebijakan AL IMAM atas rakyatnya harus didasarkan pada kemaslahatan.

Kemudian, beliau mengilustrasikan hubungan Al Imam dengan rakyatnya, dengan membawa perkataan Imam Syafi’i “منزلة الولي من يتيمه ” sebagaimana posisinya seorang Wali terhadap anak yatim (yg diasuhnya). Lalu, Pak Kiai Muhibbiy menambahkan ” ولكن المجنون مثله ” begitupula posisi seorang Wali terhadap orang gila (yang diasuhnya). Tambahan ini tentu mempunyai banyak makna terkait heterogennya opini dan tuntutan rakyat yg ‘aneh-aneh’ terhadap pemimpinnya.

Walaupun dalam hal ini Pak Kiai Muhibbiy menukil pandangan Imam Syafi’iy, tetapi dalam definisi “Al-Imam” dalam kaidah tersebut Pak Kiai Muhibbi berbeda dengan Imam Syafi’i.

Lihat saja, sudah jamak diketahui, bahwa Imam Syafi’i mengartikan kata “Al Imam” sebagai Al Imam al A’dzaam, Imam Agung Pemimpin seluruh Umat Islam, dan pemimpin ini harus berdarah Quraisy, sebagaimana konteks zaman Imam Syafi (150 H – 204 H) dan sebelumnya.

Tetapi, bagi pak Kiai Muhibbiy, kata “Al Imam” dalam kaidah ini dapat dimaknai;
ومثله نوابه من قاض وغيره وهكذا رئيس الجمهورية
Dan berlaku juga sebagaimana Al Imam, adalah para pejabat struktural di bawahnya seperti hakim dan lainnya. Dan bahkan juga, “Al Imam” ini dapat diartikan Pemimpin Republik atau Presiden. Ini khas dan orisinil pemikiran Pak Kiai Muhibbi, dan tidak akan ditemukan di khasanah kitab-kitab klasik sebelumnya prihal Al Qawaid Al Fiqhiyah. Di sini, secara tersirat Pak Kiai Muhibbi menegaskan bahwa Al Imam Al A’dzam (Ulil Amri yg wajib ditaati) dalam konteks sekarang bagi umat Islam adalah Presiden, dalam kerangka negara-bangsa (nation state).

Demikian, kerinduan dan nostalgia ilmu kami kepada guru kami, Pak Kiai Muhibbiy. Beliau lahir 3 Februari 1938 dan Wafat 3 Maret 2005. Konon, Beliau meninggalkan puluhan karya ilmiah berwujud kitab, yg umumnya berbahasa Arab, dalam berbagai disiplin ilmu. Rahmatullahi al mardhiyyah ‘alaihi. Amien.

Sungguh anugrah Allah ta’ala yang luar biasa, kami pernah ngangsu kaweruh muwajjahah dengan beliau. Ya Allah, berikanlah kemanfaatan dan keberkahan ilmu untuk kami semua.

Ngaji Qowaid Fiqhiyah karya KHM Muhibbi Hamzawie Seri 1-5
Ngaji Qowaid Fiqhiyah karya KHM Muhibbi Hamzawie Seri 6-10
Ngaji Qowaid Fiqhiyah karya KHM Muhibbi Hamzawie Seri 11-15
Ngaji Qowaid Fiqhiyah karya KHM Muhibbi Hamzawie Seri 16-20
Ngaji Qowaid Fiqhiyah karya KHM Muhibbi Hamzawie Seri 20-25
Ngaji Qowaid Fiqhiyah karya KHM Muhibbi Hamzawie Seri 26-30

No responses yet

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *