Tema tentang politik Islam sesungguhnya telah setua umur Islam itu sendiri, tetapi pembahasan tentangnya selalu saja menarik. Hal ini terkait pada banyak hal. Antara lain adalah bahwa politik selalu berkonotasi negatif, dan Islam berusaha memberikan warna positif terhadapnya. Ingat kata-kata William Fitzgerald, Bapak ilmu politik modern, Politic is the art of making something impossible to be possible. Ungkapan Fitzgerald tersebut jelas berseberangan dengan Islam yang menawarkan kejujuran, keadilan, kesederhanaan dan kearifan dalam mengisi kehidupan ini.
Definisi Politik
Kata politik pada mulanya terambil dari bahasa Yunani dan atau Latin politicos atau politõcus yang berarti relating to citizen. Keduanya berasal dari kata polis yang berarti kota. Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan kata politik sebagai “segala urusan dan tindakan (kebijakan, siasat, dan sebagainya) mengenai pemerintahan negara atau terhadap negara lain.” Juga dalam arti “kebijakan, cara bertindak (dalam menghadapi atau menangani satu masalah).”
Dalam kamus-kamus bahasa Arab modern, kata politik biasanya diterjemahkan dengan kata siyasah. Kata ini terambil dari akar kata sasa-yasusu yang biasa diartikan mengemudi, mengendalikan, mengatur, dan sebagainya. Dari akar kata yang sama ditemukan kata sus yang berarti penuh kuman, kutu, atau rusak.
Dalam Al-Quran tidak ditemukan kata yang terbentuk dari akar kata sasa-yasusu, namun ini bukan berarti bahwa Al-Quran tidak menguraikan soal politik.
Sekian banyak ulama Al-Quran yang menyusun karya ilmiah dalam bidang politik dengan menggunakan Al-Quran dan sunnah Nabi sebagai rujukan. Bahkan Ibnu Taimiyah (1263-1328) menamai salah satu karya ilmiahnya dengan As-siyasah Asy-Syar’iyah (Politik Keagamaan).
Uraian Al-Quran tentang politik secara sepintas dapat ditemukan pada ayat-ayat yang berakar kata hukm. Kata ini pada mulanya berarti “menghalangi atau melarang dalam rangka perbaikan”. Dari akar kata yang sama terbentuk kata hikmah yang pada mulanya berarti kendali. Makna ini sejalan dengan asal makna kata sasa-yasusu-sais siyasat, yang berarti mengemudi, mengendalikan, pengendali, dan cara pengendalian.
Hukm dalam bahasa Arab tidak selalu sama artinya dengan kata “hukum” dalam bahasa Indonesia yang oleh kamus dinyatakan antara lain berarti “putusan”. Dalam bahasa Arab kata ini berbentuk kata jadian, yang bisa mengandung berbagai makna, bukan hanya bisa digunakan dalam arti “pelaku hukum” atau diperlakukan atasnya hukum, tetapi juga ia dapat berarti perbuatan dan sifat. Sebagai “perbuatan” kata hukm berarti membuat atau menjalankan putusan, dan sebagai sifat yang menunjuk kepada sesuatu yang diputuskan. Kata tersebut jika dipahami sebagai “membuat atau menjalankan keputusan”, maka tentu pembuatan dan upaya menjalankan itu, baru dapat tergambar jika ada sekelompok yang terhadapnya berlaku hukum tersebut. Ini menghasilkan upaya politik.
Kata siyasat sebagaimana dikemukakan di atas diartikan dengan politik dan juga sebagaimana terbaca, sama dengan kata hikmah.
Di sisi lain terdapat persamaan makna antara pengertian kata hikmah dan politik. Sementara ulama mengartikan hikmah sebagai kebijaksanaan, atau kemampuan menangani satu masalah sehingga mendatangkan manfaat atau menghindarkan mudarat. Pengertian ini sejalan dengan makna kedua yang dikemukakan Kamus Besar Bahasa Indonesia tentang arti politik, sebagaimana dikutip di atas.
Praktek Politik Islam
Politik, realitanya pasti berhubungan dengan masalah mengatur urusan rakyat baik oleh negara maupun rakyat. Sehingga definisi dasar menurut realita dasar ini adalah netral. Hanya saja tiap ideologi (kapitalisme, sosialisme, dan Islam) punya pandangan tersendiri tentang aturan dan hukum mengatur sistem politik mereka. Dari sinilah muncul pengertian politik yang mengandung pandangan hidup tertentu dan tidak lagi “netral”.
Adapun definisi politik dari sudut pandang Islam adalah pengaturan urusan-urusan (kepentingan) umat baik dalam negeri maupun luar negeri berdasarkan hukum-hukum Islam. Pelakunya bisa negara (khalifah) maupun kelompok atau individu rakyat.
Jadi, esensi politik dalam pandangan Islam adalah pengaturan urusan-urusan rakyat yang didasarkan kepada hukum-hukum Islam. Adapun hubungan antara politik dan Islam secara tepat digambarkan oleh Imam al-Ghajali: “Agama dan kekuasaan adalah dua saudara kembar. Agama adalah pondasi (asas) dan kekuasaan adalah penjaganya. Segala sesuatu yang tidak berpondasi niscaya akan runtuh dan segala sesuatu yang tidak berpenjaga niscaya akan hilang dan lenyap”.
Berbeda dengan pandangan Barat politik diartikan sebatas pengaturan kekuasaan, bahkan menjadikan kekuasaan sebagai tujuan dari politik. Akibatnya yang terjadi hanyalah kekacauan dan perebutan kekuasaan, bukan untuk mengurusi rakyat. Hal ini bisa kita dapati dari salah satu pendapat ahli politik di barat, yaitu Loewenstein yang berpendapat “politic is nicht anderes als der kamps um die Macht” (politik tidak lain merupakan perjuangan kekuasaan).
Berpolitik adalah kewajiban bagi setiap Muslim baik itu laki-laki maupun perempuan. Adapun dalil yang menunjukkan itu antara lain:
Pertama, dalil-dalil syara telah mewajibkan bagi kaum Muslim untuk mengurus urusannya berdasarkan hukum-hukum Islam. Sebagai pelaksana praktis hukum syara, Allah SWT telah mewajibkan adanya ditengah-tengah kaum Muslim pemerintah Islam yang menjalankan urusan umat berdasarkan hukum syara. Firman Allah SWT yang artinya:
“Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang diturunkan oleh Allah SWT dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu” (TQS. Al-Maidah [105]:48)
Kedua, syara telah mewajibkan kaum Muslim untuk hirau terhadap urusan umat sehingga keberlangsungan hukum syara bisa terjamin. karenanya dalam Islam ada kewajiban untuk mengoreksi penguasa (muhasabah li al-hukkam). Kewajiban ini didasarkan kepada Firman Allah SWT yang artinya:
“Dan hendaklah ada diantara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebaikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar. Merekalah orang-orang yang beruntung” (TQS. Ali Imran [03]: 104).
Praktek politik Islam itu kemudian ditauladankan oleh Rasulullah SAW. lewat masyarakat Madinah yang secara bahu-membahu mengisi kehidupan mereka sehari-hari. Fenomena masyarakat Madinah itu bahkan menarik perhatian ilmuwan Barat, Bernard Lewis, yang menyebutnya sebagai “an athmosphere where egalitarian Islam was alive.” Kesimpulan Lewis ini tidak mengherankan sebab pada detik-detik terakhir kehidupannya saja, Rasulullah Saw. masih meminta para sahabat untuk “mengadilinya”.
Pada khutbah terakhir di masjid Nabawi, tiga hari setelah beliau kembali dari “haji perpisahan”nya, beliau mengatakan, “kalau ada di antara kalian yang pernah aku pukul punggungnya, inilah punggungku.” Seorang bekas budak hitam berdiri dan meminta “qishas” dari Rasulullah, “engkau memukul punggungku saat aku tidak berbaju. Kini aku ingin memukulmu dalam kondisi yang sama.” Sahabat Umar bin Khaththab menahan geramnya. Tetapi Rasulullah memerintahkan Bilal untuk mengambil cambuk dari rumahnya dan memerintahkan laki-laki itu untuk mencambuk Rasulullah. Peristiwa tersebut menunjukkan betapa egaliter masyarakat yang dibangun Rasulullah SAW. dengan keadilan sebagai panglima dalam menjalankan politik pemerintahannya.
Masalahnya kemudian, sejarah mencatat bahwa pada hari kematian Rasulullah SAW, para sahabat berbeda pendapat tentang siapakah yang paling berhak menggantikan kepemimpinan beliau sebagai khalifah; kaum Muhajirin (pendatang) asal Mekah atau kaum Anshar (penolong) penduduk asli kota Madinah. Sejarah kemudian juga mencatat bahwa akhirnya sahabat Abu Bakar, wakil kaum Muhajirin-Mekah menjadi khalifah pertama yang mendapat dukungan suara mayoritas dengan slogan yang sangat terkenal, “bila kita telah ridha dengan dia (Abu Bakar) dalam urusan agama kita, mengapa kita tidak meridhainya untuk urusan dunia kita.” Meskipun sahabat Ali bin Abi Thalib tidak langsung membai’at Abu Bakar, kenyataan ini tidak menggoyahkan kepemimpinan Abu Bakar sebagai-meminjam istilah Nazih N. Ayubi, guru besar studi keislaman Universitas Temple, Amerika Serikat-”presiden Negara Islam Madinah” saat itu.
Kenyataan sejarah itu menunjukkan pada kita dua hal mendasar; pertama, bahwa pranata masyarakat yang dibangun Rasulullah SAW di Madinah merupakan contoh dari masyarakat egaliter yang berani menerima perbedaan pendapat, termasuk perbedaan politik. Kedua, bahwa Islam-lewat Qur’an dan Hadis-ternyata tidak memberikan petunjuk pelaksanaan praktis tentang tata cara suksesi, terlebih urusan negara secara detail. Dari sinilah, perdebatan tentang apakah Islam memiliki sistem politik atau tidak bermuara. Hal ini menjadi makin rumit bila kita runtun dengan persoalan negara sebagai ujung dari setiap pembicaraan politik.
Tidak terbatas dari kalangan ulama Islam, terdapat berbagai pandangan yang simpang siur dalam masalah di atas. Sebuah pemikiran, sebagaimana disimpulkan W. M. Watt dan pendahulunya, H.A.R. Gibb, menegaskan bahwa konsep teori politik, terutama yang pernah dilontarkan oleh ulama-ulama sunni, bukanlah formulasi sistem kekuasaan yang digariskan oleh agama Islam itu sendiri dan tidak juga sebagai sistem politik yang merupakan blue print bagi pergerakan politik Islam masa depan. Watt cenderung melihat bahwa konsep-konsep politik yang ditulis oleh kalangan ulama sunni tidak lebih dari refleksi politis para pemikir Islam dan komunitas muslim secara umum terhadap perjalanan sejarah dan fenomena politik yang dialami.
Dalam studi al-Islam wa Ushul al-Hukmi yang dilakukan Dr. Ali Abdurrazieq menyimpulkan bahwa agama Islam pada dasarnya tidak mempunyai konsep politik. Islam adalah agama (dien) dan bukan negara (daulah). Islam lebih tepat untuk disebut sebagai ajaran (risalah) ketimbang sebagai penguasa (hukkam). Apa yang digariskan para ulama Islam tentang konsep “daulah” dan “khilafah” merupakan masalah ijtihadiyah (hipotesa ilmiyah), yang sama sekali bersifat kondisional. Islam hanya mewajibkan penegakan hukum-hukum syariah. Sedangkan teknis dan operasional yang melingkupi sepenuhnya tergantung kondisi dan situasi umat.
Dari sekian literatur keislaman yang ada hampir tidak ada yang menghukumi bahwa Islam memberikan suatu sistem pemerintahan tertentu, baik demokrasi, teokrasi atau monarki. Dokumen terpenting tentang tata negara dalam Islam hanyalah Al-Shahifah yang lebih dikenal sebagai Piagam Madinah. Dokumen ini memuat pasal-pasal tentang peran setiap anggota masyarakat, termasuk kaum Yahudi, dalam partisipasi pembangunan negara di Madinah. Setelah itu, improvisasi para ulama untuk memadukan antara “yang dari langit” dengan kenyataan “yang di bumi” mewarnai perjalanan pemikiran tentang politik dan negara Islam.
Alquran dan Masyarakat Islam
“Allah telah menjanjikan kepada orang-orang beriman dari kalian dan beramal saleh, bahwa dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di muka bumi, sebagaiman dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apa pun dengan aku, dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik.” (QS An-Nur : 55)
Banyak tokoh Islam yang berbicara tentang cita-cita Islam, tetapi sering terbawa oleh situasi masanya. Padahal, harus dibedakan antara doktrin Islam dan konsepsi manusia. Pertama, doktrin Islam bersifat sakral dan pasti kebenarannya, karena datang dari Sang Maha Kuasa, sedangkan konsep manusia tidak bersifat mutlak, tetapi bersifat nisbi.
Kedua, antara konsep Islam ideal dan realitas kehidupan manusia harus diupayakan sedemikian rupa untuk dapat diaplikasikan secara indah dan manusiawi demi mencapai keadilan dan kesejahteraan. Berbeda dengan teori politik al-Farabi dalam Negara Utamanya yang cenderung terlalu idealis dan utopis sehingga konsepnya hanya cocok bagi masyarakat malaikat. Kita melihat para tokoh politik Islam seperti Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim, al-Mawardi, al-Ghazali, dan Ibnu Khaldun lebih realistis ketika mereka meninjau politik Islam dari perspektif sosiologis yang bermuara kepada ajaran Islam. Hanya saja, pada masa modern ini konsepsi politik Islam itu perlu dikemas lebih canggih dan menarik, tetapi tidak berkacamata dan mengadopsi pemikiran politik Barat yang pada umumnya para pemikir politik Islam kontemporer terlalu inferiority complex. Sehingga muncullah istilah-istilah seperti “demokrasi” dan konsep “civil society”, kemudian dilegitimasi dengan dasar-dasar Islam. Ini bukan suatu kemajuan, tetapi suatu kemunduran.
Benar apa yang dikatakan oleh Imam Malik bahwa umat Islam dewasa ini tidak akan berjaya manakala tidak mengikuti jejak para pendahulu mereka. Sebagaimana Alquran menegaskan, “Dan berpegang teguhlah kalian dengan tali Allah (Alquran) dan jangan tercerai-berai….” (Ali Imran: 103). Demikian juga Rasulullah saw memperingatkan umatnya, “Kutinggalkan untuk kalian dua pegangan, niscaya kalian tidak akan sesat selama-lamanya: Alquran dan sunnahku.” (HR Malik).
Kenyataannya, umat banyak yang tidak lagi berpegang kepada sumber itu, kecuali hanya slogan. Padahal, di dalam Alquran terdapat petunjuk-petunjuk bagaimana terbentuknya suatu masyarakat ideal dan praktik Nabi Muhammad saw dengan masyarakat Qurani itu nyata sebagai realitas sosial dan berkelanjutan pada masa-masa berikutnya. Hal itu sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Katsir dan Ibnu Taimiyah bahwa Allah memberikan petunjuk bagi tercapainya masyarakat Qurani dengan turunnya surat An-Nur ayat 55 yang artinya, “Allah telah menjanjikan kepada orang-orang beriman dari kalian dan beramal saleh, bahwa dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di muka bumi, sebagaiman dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apa pun dengan aku, dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik.”
Ibnu Katsir mengomentari ayat di atas bahwa itu janji Allah kepada Rasulullah saw yang akan menjadikan umatnya sebagai penguasa-penguasa di muka bumi. Sehingga, negara-negara menjadi makmur dan rakyat menjadi patuh… dan janji itu terjelma sebelum Nabi Muhammad saw wafat, yaitu bermula dari penaklukan Mekah, Bahrain, dan seluruh Jazirah Arab dan Yaman.
Ibnu Taimiyah berkomentar atas ayat itu bahwa kebaikan penguasa bergantung kepada kesungguhannya mengikuti Alquran dan sunnah Rasul-Nya serta mengajak rakayatnya untuk mengikutinya. Allah menjadikan kebaikan penguasa itu pada empat hal: (1) mendirikan salat; (2) menunaikan zakat; (3) amar ma’ruf; (4) nahi mungkar. Sang pengusa mengajak mendirikan salat berjamaah bersama para pembantunya dan menyuruh rakyatnya mendirikan salat serta menghukum mereka yang teledor melaksanakannya sesuai dengan hukum Allah. Dengan tegaknya ketentuan Alquran itu akan dicapai masyarakat Qurani yang dapat menegakkan habluminallah (hubungan vertikal) dan hablunminanas (hubungan horizontal) yang berarti memadukan dua kemaslahatan.
Masyarakat Qurani itu akan tampak pada ketertundukan mereka terhadap supremasi hukum Alquran. Alquran meletakkan prinsip-prinsip dasar dalam mengatur dan mengendaikan masyarakat muslim. Prinsip-prinsip tersebut adalah justice (keadilan), (syura), equality (persamaan), dan freedom (kebebasan). Orientasi politik Islam menurut Alquran menekankan pada tauhid, syariah, dan program ketakwaan.
Allah SWT tidak hanya menurunkan ajaran dan doktrin bagi umat manusia, tetapi juga menurunkan nabi-Nya untuk memberi contoh dan memimbing umat manusia menuju kepada keadilan Islam dunia. Kalau kita perhatikan, proses yang dilakukan Nabi dalam membentuk masyarakat Qurani, yang sebelumnya terkenal dengan masyarakat jahili, ada lima jalan yang ditempuhnya:
Pertama, nabi membangun aqidah umat selama berada di Mekah untuk mempersiapkan diri menerima tanggung jawab mengemban tugas risalah dan khalifah. Proses ini dilakukan paling lama sekitar 13 tahun. Setelah matang, Nabi mengutus mereka untuk menyebarkan misi dakwah, seperti Mush’ab bin Umair dikirim ke Madinah dan sebagian dikirim ke Ethiopia. Ketika dakwah sudah menampakkan hasilnya dan tidak ada satu rumah pun di Madinah melainkan sudah ada orang yang masuk Islam, maka keadan ini sangat tepat bagi umat Islam di Mekah (yang selalu ditindas kaum jahiliyah) untuk berhijrah meninggalkan tempat asalnya.
Kedua, Nabi memerintahkan kepada seluruh sahabat agar berhijrah ke Madinah. Yang menarik adalah bahwa sesampai di Madinah, pertama yang dilakukan Nabi untuk pembinaan umat adalah membangun masjid Nabawi sebagai sentral kegiatan dan aktifitas umat Islam. Penempaan kaderisasi terus berlanjut di masjid tersebut.
Ketiga, Nabi mempersaudarakan antarumat Islam. Mereka yang berasal dari Mekah disebut Muhajirin, sementara yang berasal dari Madinah disebut Anshor. Hal itu dilakukan untuk merekatkan umat Islam sehinga tidak mudah diadu domba.
Keempat, Nabi membuat “Piagam Madinah” untuk mengatur hubungan dengan masyarakat Etnis lain, yaitu ahlul kitab dari bangsa Yahudi, sekaligus upaya pembentengan bagi masyarakat muslim.
Kelima, Nabi melakukan ekspedisi perang bagi siapa saja yang ingin memaksakan kehendaknya untuk merusak tatanan masyarakat muslim. Maka, beliau tampil sebagai penglima perang. Dengan demikian, terbentuklah masyarkat muslim Madinah yang mengejawantahkan Allah pada ayat di atas.
Daftar Pustaka:
- Quraish Shihab, Wawasan AlQur’an, Bandung, Mizan, 2001
- Nurcholish Majid, Agama Peradaban, Jakarta, Paramadina, 1995b
- Marshal Hodgson, The Venture Of Islam, Jakarta, Paramadina, 2002
- Abdul Karim Soroush, Menggugat ototritas dan Tradisi Agama, Bandung, Mizan 2003
- Majalah As Siyasah Ad Dawlah, Edisi 105 Mesir, 2002
No responses yet